Jakarta - Kasus dugaan perundungan (bullying) yang berujung pada aksi balas dendam siswa dengan meledakkan bom molotov di SMAN 72 Jakarta mengejutkan publik nasional.
Peristiwa ini menjadi alarm keras bahwa budaya bullying masih belum menjadi perhatian utama (mainstreaming issue) di dunia pendidikan Indonesia.
Menurut Retno Listyarti, Pemerhati Anak dan Pendidikan sekaligus Komisioner KPAI Periode 2017–2022, banyak sekolah di berbagai jenjang belum sepenuhnya memahami dan menerapkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP).
“Menormalisasi bully di sekolah akan berdampak buruk pada tumbuh kembang anak, baik korban, saksi, maupun pelaku. Bullying berbeda dengan bercanda. Jika bercanda, kedua pihak tertawa bahagia, sedangkan bullying hanya satu pihak yang tertawa dan pihak lain terluka,” ujar Retno.
Apresiasi untuk Langkah Cepat Pemprov DKI Jakarta dan Dinas Pendidikan
Retno mengapresiasi langkah cepat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang langsung bertindak pasca ledakan di SMAN 72 Jakarta. Dinas Pendidikan bahkan mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan sekolah.
Namun demikian, Retno menilai surat edaran tersebut perlu diperkaya dengan penegasan agar sekolah berpedoman pada Permendikbudristek 46/2023.
“Dinas Pendidikan harus memastikan surat edaran itu dijalankan di seluruh jenjang pendidikan dengan memperkuat prinsip sekolah aman dan membentuk Tim PPK yang benar-benar memahami aturan,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa Permendikbudristek 46/2023 sudah sangat lengkap, mencakup alur penanganan kekerasan mulai dari penerimaan laporan, pemeriksaan, kesimpulan, hingga rujukan pemulihan psikologis korban.
Sekolah Harus Punya Kanal Pengaduan dan Tim PPK yang Terlatih
Retno menambahkan, sekolah wajib memiliki kanal pengaduan yang aman dan rahasia, serta rutin melakukan sosialisasi, kelas parenting, dan pelatihan bagi Tim PPK.
“Sayangnya, banyak Tim PPK tidak memahami Permendikbudristek 46 karena belum pernah membaca atau dilatih. Padahal tugas dan prinsip kerja Tim PPK sudah jelas diatur,” kata Retno, saat dikonfirmasi. Minggu (9/11).
Menurutnya, Tim PPK di setiap satuan pendidikan harus menjadi ujung tombak dalam menangani kekerasan di sekolah, mulai dari menerima laporan hingga membuat rekomendasi.
“Oleh karena itu, pelatihan untuk Tim PPK sangat mendesak agar mereka dapat bekerja sesuai amanat Permendikbudristek,” lanjutnya.
Sorotan Lala Komalawati: Bullying Juga Isu Kemanusiaan dan Gender
Aktivis perempuan dan anak Lala Komalawati, yang juga dikenal sebagai penggerak sosial dan pemerhati pendidikan, turut menyoroti kasus ini.
Ia menilai, bullying bukan hanya isu pendidikan, tetapi juga isu kemanusiaan dan gender karena banyak anak perempuan menjadi korban yang tidak berani bersuara.
“Kasus di SMAN 72 Jakarta ini harus menjadi titik balik. Kita tidak boleh menormalisasi kekerasan, sekecil apa pun. Setiap anak berhak merasa aman, dihargai, dan tumbuh tanpa takut,” ujar Lala. Minggu (9/11).
Ia juga menekankan pentingnya pendekatan empatik dalam menangani anak korban dan pelaku bullying.
“Pendekatan yang keras dan menghukum justru memperpanjang trauma. Sekolah harus hadir sebagai rumah kedua yang penuh kasih, bukan tempat anak takut datang,” tambahnya.
Sebagai aktivis perempuan, Lala mendorong agar pendidikan karakter dan empati menjadi bagian dari sistem pembelajaran di semua jenjang sekolah.
“Kita perlu membangun budaya saling menghargai sejak dini di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Karena dari sanalah kita bisa menghentikan rantai kekerasan,” tegasnya.
Rekomendasi Retno Listyarti
Pelatihan Nasional Tim PPK: Kementerian Pendidikan, bekerja sama dengan Dinas Pendidikan daerah, harus melatih kepala sekolah dan Tim PPK agar memahami dan menerapkan Permendikbudristek 46/2023.
Pemulihan Psikososial Siswa: Pemprov DKI Jakarta diminta melakukan pemulihan psikologis bagi seluruh siswa SMAN 72 yang terdampak insiden, bekerja sama dengan Dinas PPAPP dan Dinas Sosial.
Kanal Pengaduan Aman: Semua sekolah wajib menyediakan kanal pengaduan dengan nomor kontak, email, dan media sosial yang dapat diakses siswa tanpa takut identitasnya terbongkar.
Program Pencegahan dan Parenting: Sekolah perlu menggandeng komite dan orang tua untuk sosialisasi rutin pencegahan kekerasan dan pelatihan parenting.
Anggaran Tim PPK: Komite sekolah didorong menyediakan alokasi dana khusus bagi Tim PPK agar dapat bergerak aktif dalam pencegahan dan penanganan kasus.
Penutup
Kasus di SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat bahwa dunia pendidikan tidak hanya soal akademik, tetapi juga tentang keselamatan, empati, dan kemanusiaan.
“Lebih baik mencegah daripada mengobati. Sekolah aman adalah hak semua anak Indonesia,” tutup Retno. @detikline.com

0Komentar