Jakarta, lalakomalawati.com - Tepat di penghujung tahun, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan uji materi (judicial review) yang krusial terhadap Pasal 411 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Gugatan ini dilayangkan oleh kelompok mahasiswa Universitas Terbuka yang menamakan diri mereka Tim 10.
Delegasi ini dipimpin langsung oleh Priskila Octaviani. Bersamanya, hadir pula anggota tim lainnya yakni Lala Komalawati, Vendy Setiawan, Susi Lestari, Ryan, Luciana, Retno, dan Kristin yang mendatangi Gedung MK untuk memastikan dokumen permohonan diterima dan teregistrasi secara resmi oleh kepaniteraan.
Menyoal Ancaman Pidana di Ruang Privat
Fokus utama gugatan Tim 10 adalah Pasal 411 yang mengatur tentang delik perzinaan. Mereka menilai pasal ini berpotensi menjadi instrumen diskriminasi bagi warga negara yang menjalankan pernikahan beda agama namun belum mendapatkan pengakuan administratif oleh negara.
"Kami hadir di sini karena hukum tidak boleh menjadi alat untuk menginvasi ruang paling privat manusia. Pasal 411 KUHP Baru ini menyimpan bom waktu yang bisa meledak menjadi persekusi dan kriminalisasi bagi mereka yang berbeda keyakinan dalam ikatan cinta," tegas Priskila Octaviani di depan awak media.
Tiga Poin Utama Gugatan Tim 10:
- Pelanggaran Hak Konstitusional: Pasal 411 dianggap bertentangan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat sesuai keyakinannya, termasuk dalam melangsungkan pernikahan.
- Ketidakpastian Hukum: Tim 10 menilai aturan ini menciptakan standar ganda dalam legalitas hubungan, yang berisiko menempatkan pasangan beda agama sebagai subjek hukum yang rentan dipidana hanya karena hambatan administrasi.
- Dampak Sosial dan Hak Anak: Gugatan ini juga menyoroti kerugian jangka panjang bagi status hukum anak yang lahir dari pernikahan beda agama, yang secara tidak langsung akan terdampak oleh stigmatisasi "perzinaan" yang diatur dalam pasal tersebut.
"Hukum seharusnya memanusiakan manusia, bukan justru menciptakan kasta-kasta warga negara berdasarkan status pernikahannya. Tim 10 akan terus mengawal proses ini hingga ada keputusan yang mencerminkan wajah Indonesia yang inklusif," tambah Lala Komalawati, salah satu anggota delegasi.
Pendaftaran gugatan ini menjadi langkah awal Tim 10 dalam memperjuangkan keadilan bagi hak-hak sipil di tengah transisi pemberlakuan KUHP Nasional. Mahkamah Konstitusi kini diharapkan menjadi benteng terakhir untuk melindungi kebhinekaan dari pasal-pasal yang dinilai regresif. Rill/Red





0Komentar