Penulis: lala

Hidup sering kali dipahami hanya sebatas perjalanan dari lahir hingga mati. Namun, bila direnungkan lebih dalam, hidup adalah ruang belajar tanpa akhir, tempat kita menguji arti diri, makna kebahagiaan, dan tujuan keberadaan.

Hidup Bukan Sekadar Memiliki

Manusia kerap terjebak dalam ilusi bahwa kebahagiaan ada pada seberapa banyak yang dimiliki: harta, jabatan, atau pengakuan. Padahal, hakikat hidup bukanlah tentang kepemilikan, melainkan tentang kebermaknaan.

Bila kita mampu memberi arti bagi diri sendiri dan orang lain, maka kita sudah menemukan salah satu inti filsafah hidup: menjadi manusia yang berguna. Seperti kata pepatah, “Orang bijak meninggalkan jejak, bukan sekadar warisan.”

Waktu Adalah Guru yang Paling Jujur

Hidup sejatinya adalah dialog kita dengan waktu. Waktu mengajarkan bahwa segala sesuatu datang dan pergi. Keindahan, rasa sakit, kemenangan, bahkan kegagalan semua hanyalah tamu yang singgah.

Kesadaran ini melahirkan kerendahan hati. Kita tidak terlalu berbangga ketika berada di puncak, dan tidak terlalu larut ketika berada di bawah. Semua hanyalah putaran roda yang pasti berganti.

Kesederhanaan Sebagai Jalan Pulang

Filsafat hidup juga mengajarkan bahwa kesederhanaan bukan kelemahan, melainkan kebijaksanaan. Kesederhanaan melatih kita untuk tidak terikat pada hal-hal fana, sehingga hati lebih ringan melangkah.

Ketika kita bisa makan dengan cukup, tidur dengan tenang, dan mencintai dengan tulus, maka sejatinya kita sudah mencapai apa yang selama ini dikejar banyak orang: kedamaian batin.

Penutup: Hidup Adalah Seni Bersyukur

Filsafah hidup akhirnya menuntun kita pada satu kesadaran: hidup adalah seni bersyukur. Bersyukur atas apa yang dimiliki, bersabar atas apa yang hilang, dan terus berusaha memberi arti di setiap langkah.

Dengan begitu, hidup bukan hanya perjalanan menuju akhir, tapi juga karya yang indah untuk dikenang. Rill/Lk